Majalahglobal.com, Mojokerto – Hadi Purwanto, S.T., S.H. tak kendor menuntut transparansi tata kelola pemerintahan Desa Kedunglengkong. Hal itu terbukti saat ia mendapatkan undangan menjadi narasumber di Kantor Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto.
Hadi Purwanto menegaskan, ia mewakili warga Dusun Banjarsari Desa Kedunglengkong. Ia ingin menyampaikan aspirasi warga Dusun Banjarsari.
“Saya punya kewajiban untuk memperjuangkan aspirasi warga Dusun Banjarsari. Kami ingin kita semua tetap bersaudara. Saya berharap ada kesadaran dari pemangku kepentingan. Jika tidak ada kesadaran, maka masyarakat punya hak untuk menuntut keadilan,” tegas Hadi Purwanto, Kamis (16/5/2024).
Ia menerangkan, warga Dusun Banjarsari berharap jalannya Pemerintahan Desa Kedunglengkong sesuai dengan harapan masyarakat.
“Jadi saat kami menjurus ke keuangan ada dugaan unsur memperkaya diri sendiri maupun kelompok. Saya sendiri sebenarnya tidak tega membawa perkara ini ke ranah hukum, tetapi kami melihat nanti kesadaran perangkat Desa Kedunglengkong seperti apa,” pesan Hadi Purwanto.
Hadi berpesan, jangan sampai ada penggelembungan anggaran dan proyek fiktif di Desa Kedunglengkong.
“Kebetulan saya punya hak menyampaikan hal ini karena KTP saya Dusun Banjarsari, Desa Kedunglengkong,” ungkap Hadi Purwanto.
Lebih lanjut dikatakannya, hari ini fakta hukum sudah jelas. Belum tentu lolos pemeriksaan inspektorat itu bisa lolos dari jerat hukum.
“Pengembalian kerugian negara itu tidak bisa menghapus pidana. Saya hari ini tidak mau menjatuhkan perangkat desa Kedunglengkong, saya niatnya ingin menasihati. Jadi saya selaku pendamping hukum dari Pj Kepala Desa Kedunglengkong menemukan pembelian alat pengering sebesar Rp 100 juta,” ujar Hadi Purwanto.
“Apakah perencanaannya itu sudah direncanakan dengan matang. Apakah sudah memikirkan asas manfaatnya. Saya prihatin alat itu nganggur karena alasan tegangan listriknya tidak kuat. Intinya jangan sampai pintar perencanaan dan pelaksanaan tapi pertanggungjawabannya tidak bisa,” tambah Hadi Purwanto.
Kemudian terkait kios desa, ditanya kios desa saja jawabannya ditulis tangan. Lalu bagaimana keabsahannya jika ditulis tangan itu.
“Pertanggungjawaban itu tidak bisa dilempar ke Almarhum Kepala Desa Pak Darman karena ada pelaksananya masing-masing,” tegas Hadi Purwanto.
Kemudian terkait pujasera. Secara letak itu menghadap ke utara. Otomatis kios-kios berjajar tapi pada rebutan yang menghadap ke barat saja. Jadi disini jelas ada kesalahan soal tata letak.
“Selain itu juga ada kesalahan soal penunjukkan pembangunan pujasera yang nilainya Rp 600 juta. Padahal menurut aturan pengadaan barang dan jasa seharusnya pembangunan kontruksi diatas Rp 200 juta itu memakai tender bukan penunjukkan,” tandas Hadi Purwanto.
Ia menandaskan, Kepala Desa itu tidak boleh bawa uang. Itu tugas bendahara.
“Tidak boleh kita menyalahkan Almarhum Kepala Desa Darman. Karena di SPJ itu ada nama Bendahara dan nama Sekdes. Kalau ini dibawa ke ranah hukum salah lho bendahara dan sekdes ini,” ujar Hadi Purwanto.
Ia yakin banyak desa di Kabupaten Mojokerto yang juga tata kelola pemerintahannya dan tata kelola keuangannya seperti Kedunglengkong.
“Selain itu selalu menganut dalil yang sesat tidak berani memberikan LPJ ke masyarakat, padahal aturannya jelas masyarakat berhak mengetahui LPJ Pemerintah Desa,” jelas Hadi Purwanto.
Dan ia yakin banyak desa yang tidak bisa menolak saat perusahaan keluarga Bupati Mojokerto meminta menjadi konsultan perencanaan maupun konsultan perencanaan.
“Saya lebih baik dibenci Bupati Mojokerto daripada dibenci masyarakat Mojokerto karena kebijakan yang salah,” tutup Hadi Purwanto.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Desa Kedunglengkong, Septya mengatakan, proyek pujasera Kedunglengkong senilai Rp 600 juta memang tidak menggunakan tender.
“Proyek pujasera Kedunglengkong menggunakan penunjukkan atas perintah Almarhum Kepala Desa Darman,” jelas Septya. (Jay/Adv)